Pagi ini aku sampai di kantor lebih cepat. Sengaja, biar ada jeda waktu sebelum bekerja, bisa sarapan sambil ngopi dulu, agak santai. Lagi asik menyantap roti berisi jamur dan daging ayam kesukaanku, Tari menyapaku seperti biasa riang.
"Pagi Sha, wajahmu seger banget..lagi berbunga-bunga ya?"
Upsss, dalam hati aku mikir, apa mungkin pancaran wajahku segampang itu terbaca. Atau mungkin Tari tidak hanya seorang rekan kerja tetapi juga seorang sahabat. Aku butuh seseorang untuk menumpahkan ganjalan di hatiku.
Sudah beberapa bulan ini perasaanku seperti melambung, berbunga-bunga serasa remaja yang sedang kasmaran. Rudy, lelaki yang balekangan ini sering mengantarku kalau aku ketinggalan mikrolet menuju kantor. Seorang mahasiswa di semester akhir yang nyambil sebagai pengemudi Ojek. Betapa sosok tersebut membuatku mabuk kepayang. Sebenarnya tak ada yang salah kalau aku mengagumi, memikirkannya tiap denyut jantungku, merindunya dan menginginkannya, kalau aku bukan seorang istri dan Ibu dari dua gadis kecilku.
"Tari, kamu sering nggak merasa rindu dengan pacarmu yang di seberang lautan sana?" tanyaku.
"Yah pastilah rindu...apalagi ketemunya nggak tiap hari." Tari menjawab sambil tertawa kecil.
Aku tak pernah merasa rindu pada suamiku, tak juga dari pertama aku menjadi istrinya, walaupun dia pergi berhari-hari, bahkan berminggu-minggu. Aku menikahinya ketika memasuki usia 29 tahun, atas desakan Ibuku untuk segera mengakhiri masa lajangku. Beliau ingin menimang cucu sebelum "dipanggil olehNya". Aku tak menyalahi Ibuku, karena aku tahu bahwa beliau ingin agar aku bahagia dan punya keluarga dan tidak sendiri.
Mas Sam, suamiku itu adalah sahabat kakakku yang sering main ke rumah. Seorang lelaki lembut dan pendiam. Dia memang sudah lama mencintaiku diam-diam. Sampai akhirnya aku tahu dari kakakku dan juga merasakan sendiri perhatiannya. Ketika Ibu mendesakku lagi, aku mulai membalas perhatian mas Sam. Hingga dia merasa bahwa perasannya tak bertepuk sebelah tangan. Kita akhirnya menikah dan dikaruniai dua putri yang lucu.
"Kalau kamu nggak cinta dengan suamimu, kenapa bisa sampai punya dua anak, Sha?" begitu Tari bertanya.
Pertanyaan yang aku juga sulit menjawabnya. Apakah mungkin aku yang dengan kesadaran penuh dan ikhlas hati menerima ajakan mas Sam untuk menjadi istrinya, akan menolak ajakannya untuk bercinta, layaknya sepasang manusia yang memang saling mencinta? Jujur saja, wanita dewasa seperti aku ini mana mungkin tidak membutuhkan belaian seorang lelaki. Omong kosong dan munafik sekali kalau aku katakan aku tak butuh lelaki.
Aku berfikir bahwa cinta bakalan datang belakangan, seiring kebersamaan kami mengarungi bahtera rumah tangga. Tapi ternyata tak sesederhana itu. Mas Sam adalah sosok yang lembut, tetapi dia sangat pendiam sekali. Kadang aku ingin dia marah, atau menentangku kalau memang dia tak setuju. Tapi harapan itu tak pernah datang, bertahun-tahun aku tunggu. Atau paling tidak dia bisa bersikap sedikit romantis padaku, tidak terlalu kaku, sehingga aku tahu apa sebenarnya yang dia inginkan.
Kadang kalau terbangun malam hari dan merasa ingin ke toilet, ada rasa takut di diriku. Seandainya mas Sam terbangun, dan ingin bercinta denganku. Keinginan itu belakangan ini sudah mulai memudar, aku tak ingin diganggu dia.
"Jadi gimana menurutmu, Tari?" tanyaku.
"Seburuk itu, Sha? Hanya ada dua pilihan; membicarakan hal tersebut secara terbuka, kalau bisa berkonsultasi dengan ahlinya. Atau kalian berpisah."
Tari menyatakan kalimatnya tenang dan sedikit prihatin memandangku.
Tari menyatakan kalimatnya tenang dan sedikit prihatin memandangku.
"Jangan bilang demi anak, Sha. Menurutmu apa anak-anak kalian nggak bakalan tahu kalau hubungan orang tuanya tidak lagi harmonis?"
Tari menambahkan kalimatnya. Mungkin dia melihat raut wajahku agak kaget mendengar jawaban sebelumnya.
Tari menambahkan kalimatnya. Mungkin dia melihat raut wajahku agak kaget mendengar jawaban sebelumnya.
"Itulah Tari, saranku untukmu jangan menikah hanya karena desakan orang di sekitar dan menikahi orang yang tidak sepenuhnya kamu cintai."
Aku kemudian sedikit sok menasehati Tari yang sedang menjalin hubungan dengan seorang lelaki dari belahan benua nun jauh di sana.
Aku kemudian sedikit sok menasehati Tari yang sedang menjalin hubungan dengan seorang lelaki dari belahan benua nun jauh di sana.
Aku tahu bahwa setiap hubungan punya keindahan dan masalah masing-masing. Tapi bukan berarti aku ingin meninggalkan suamiku hanya untuk mengejar impian semuku terhadap Rudy, lelaki yang telah menyadarkanku bahwa ternyata aku bisa mencintai seorang lelaki apa adanya.
Tidak ada salahnya nanti malam kalau suasana mendukung, aku akan mulai membuka percakapan dengan mas Sam. Terbuka dan jujur mengungkapkan perasaanku. Aku ingin tau apa yang sebenarnya ada di fikiran suamiku ini. Apakah sama seperti yang aku rasakan terhadapnya?
Selepas kerja ini aku putuskan pulang dengan menumpang taxi, berusaha menghambat perasaanku yang menggunung untuk ketemu dan berboncengan erat dengan Rudy. Duduk tenang di dalam taxi menikmati senja dan kemacetan Jakarta. Beruntung kali ini supir taxi yang membawaku tak banyak omong. Kesemrawutan Jakarta bisa aku nikmati dengan lebih ringan petang ini.
De, November 2010
mengenang seorang sahabat lama

No comments:
Post a Comment