Masa-masa kuliah di Medan dulu ada beberapa teman kuliah yang nge-kos di sekitar kampus. Membayangkan diri sendiri jadi anak kos saat itu...rasanya gak pingin..!
Hidup memang ternyata 'gak bisa diduga, aku akhirnya jadi anak kos, untuk pertama kalinya di Bandung. Keseharianku waktu itu sibuk ngikuti kelas Computer, punya teman baru, dan bisa ketemu langsung dengan sahabat pena-ku dari masa-masa kuliah dulu, persahabatan kita tetap terjaga sampai sekarang.
Hidup nge-kos di Bandung bukan masa yang terlalu berat, karena aku tinggal sekamar dengan kakak kandungku, aku 'gak sendiri, tempat kosnya bagus, dekat kalau mau cari makanan, lokasi sebelah pasar, yang pernah tinggal di Bandung biasanya pasti tahu daerah GergerKalong, deket kampus eNHaI (gak tahu nama resminya apa sekarang). Yang bisa aku kenang hampir semuanya indah, masalah serius tidak pernah terjadi, pemilik kos juga baik.
Setahun di Bandung akhirnya aku pindah ke Jakarta, dapet kerjaan yang tetap di sana. Selama menetap di Jakarta aku cukup puas pindah dari tempat kos yang satu ke kos yang lain. Ternyata ada saja perlakuan-perlakuan aneh dari pemilik kos.
Pemilik kos pertama bukan orang yang asing buat aku dan keluargaku, tapi mungkin karena terlalu perduli, akhirnya aku yang merasa kehidupanku dimata-matai. Untuk aku hidup seperti itu bukan hal yang biasa, karena orang tuaku memberi kebebasan kepada kami anak-anaknya untuk berteman, jadi aku yang gak pernah mendapat perlakuan begitu dari rumah merasa hidupku dibatasi...akhirnya yah aku pindah...
Ke lokasi kos yang kedua, semua bagus, pemilik juga baik, dan kebetulan keluarga tsb cuma punya dua kamar kos, jadi kita cukup kenal satu sama lain. Bagiku juga kamar kos cuma untuk istirahat sepulang kerja, pulang sudah gelap dan capek, biasanya aku pingin tenang dan tidur. Aku meninggalkan tempat ini juga baik-baik tanpa ada rasa marah, aku waktu itu hanya menghindarkan seseorang dari "kecewa", biasa...kalau urusan cinta memang sering tidak bisa ditawar. Masa-masa bahagia aku menikmati hidup, kerja, single, banyak teman dan belum memikirkan untuk punya keluarga, menikah maksudnya.
Tempat ketiga, aku cuma bertahan sebulan. Rumahnya cukup besar, malah terlalu besar, aku gak tau ada berapa kamar, yang pasti kita saling tidak mengenal sesama penghuni. Aku bertemu muka dengan pemilik hanya sekali waktu membayar uang sewa, selebihnya aku ketemu si Bibik, yang baik banget ke aku, setiap hari kamarku dibersihin, dipel, semua rapi. Malah si Bibik juga baik ke salah sahabatku yang kadang-kadang datang, (gak tau apa si Bibik masih ada di sana..). Tapi sayangnya aku gak kerasan hidup di sana, karena pemilik juga sedikit keterlaluan, kalau ada tamu kita yang menginap dikenakan biaya nginap per malam (memangnya hotel?), padahal sebagai anak kos aku biasa kedatangan teman, dan kadang-kadang kita gantian saling nginap kalau akhir minggu gak punya acara khusus.
Sebetulnya capek juga pindah-pindah terus, tapi mau atau tidak mau aku harus mau (pindah). Yang berikut aku satu kamar dengan sahabatku. Selain kamarnya lumayan besar, uang sewanya juga relatif murah, lokasi juga gak terlalu jauh dari tempat kerjaku, juga gampang mau ke mana-mana. Selama di sana mula-mula segalanya baik-baik saja, kecuali si bapak kos yang sedikit "genit". Kebetulan aku termasuk anak kos yang paling gak perdulian, jadi basa-basi dari si bapak kos suka gak aku dengerin.
Manusia berubah, keadaan juga berubah, sampai kita sesama anak kos gak betah lagi tinggal di sana. Aku sedikit marah waktu akhirnya tahu kalau interlokal dari orang tua & saudaraku di Medan sering diputuskan tanpa memberitahuku, atau dibiarkan digantung dan gak memberitahuku kalau ada telfon untukku. Akhirnya kita sepakat untuk pindah, hampir semua penghuni pindah.
Aku pindah ke tempat yang relatif lumayan lebih jauh dari lokasi kerja, tapi waktu itu aku sudah capek mencari tempat baru yang ideal. Aku terima juga tempat ini, kamar lebih kecil, tapi aku cuma mikir yah sudahlah aku males nyari lagi, dan kebetulan aku nyambi kuliah lagi, yang sepulang kuliah selalu malem sekali, malah kalau masa ujian bisa sampai tengah malam, dari Depok cukup satu kali naik kereta, menghemat waktu.
Inilah masa-masa aku paling lama tinggal di satu tempat kos, selain tempatnya termasuk sepi, aku memang sudah gak pingin pindah-pindah lagi..betul-betul capek. Pemilik baik sekali, tanpa aku pernah berburuk sangka dengannya. Mereka punya kunci duplikat kamar, dan bebas keluar masuk, walau alasannya untuk meletakkan pakaian-pakaian yang selesai dicuci-setrika. Bertahun-tahun aku tinggal di sana, tidak pernah ada dalam fikiranku yang jelek tentang si ibu kos, malah kita sering ngobrol berdua, cerita segala hal. Sampai akhirnya aku menyadari ada yang hal-hal aneh yang selama ini tidak pernah aku rasakan (mungkin akrena aku menganggap si ibu kos tulus kebaikannya).
Tetangga sebelah kamarku pindah, dia lebih lama tinggal di sana daripada aku, waktu aku tanyakan langsung kenapa dia pindah dia cuma senyum, biasalah cowok kadang suka gak mau terus terang. Lama kelamaan aku menyadari dan mengetahui keburukan si ibu kos, yang ternyata selalu "menguping" pembicaraan di telfon (dari pesawat telfon satunya), memungut kertas-kertas/sampah yang kita buang, kalau-kalau ada surat atau kertas-kertas yang bisa dibaca, malah sering mengarang cerita kalau kebetulan aku gak di tempat dan ada yang telfon atau mencari aku. Ini tentu saja aku tahu dari teman-teman yang pernah telfon/datang mencariku.
Ke lokasi kos yang kedua, semua bagus, pemilik juga baik, dan kebetulan keluarga tsb cuma punya dua kamar kos, jadi kita cukup kenal satu sama lain. Bagiku juga kamar kos cuma untuk istirahat sepulang kerja, pulang sudah gelap dan capek, biasanya aku pingin tenang dan tidur. Aku meninggalkan tempat ini juga baik-baik tanpa ada rasa marah, aku waktu itu hanya menghindarkan seseorang dari "kecewa", biasa...kalau urusan cinta memang sering tidak bisa ditawar. Masa-masa bahagia aku menikmati hidup, kerja, single, banyak teman dan belum memikirkan untuk punya keluarga, menikah maksudnya.
Tempat ketiga, aku cuma bertahan sebulan. Rumahnya cukup besar, malah terlalu besar, aku gak tau ada berapa kamar, yang pasti kita saling tidak mengenal sesama penghuni. Aku bertemu muka dengan pemilik hanya sekali waktu membayar uang sewa, selebihnya aku ketemu si Bibik, yang baik banget ke aku, setiap hari kamarku dibersihin, dipel, semua rapi. Malah si Bibik juga baik ke salah sahabatku yang kadang-kadang datang, (gak tau apa si Bibik masih ada di sana..). Tapi sayangnya aku gak kerasan hidup di sana, karena pemilik juga sedikit keterlaluan, kalau ada tamu kita yang menginap dikenakan biaya nginap per malam (memangnya hotel?), padahal sebagai anak kos aku biasa kedatangan teman, dan kadang-kadang kita gantian saling nginap kalau akhir minggu gak punya acara khusus.
Sebetulnya capek juga pindah-pindah terus, tapi mau atau tidak mau aku harus mau (pindah). Yang berikut aku satu kamar dengan sahabatku. Selain kamarnya lumayan besar, uang sewanya juga relatif murah, lokasi juga gak terlalu jauh dari tempat kerjaku, juga gampang mau ke mana-mana. Selama di sana mula-mula segalanya baik-baik saja, kecuali si bapak kos yang sedikit "genit". Kebetulan aku termasuk anak kos yang paling gak perdulian, jadi basa-basi dari si bapak kos suka gak aku dengerin.
Manusia berubah, keadaan juga berubah, sampai kita sesama anak kos gak betah lagi tinggal di sana. Aku sedikit marah waktu akhirnya tahu kalau interlokal dari orang tua & saudaraku di Medan sering diputuskan tanpa memberitahuku, atau dibiarkan digantung dan gak memberitahuku kalau ada telfon untukku. Akhirnya kita sepakat untuk pindah, hampir semua penghuni pindah.
Aku pindah ke tempat yang relatif lumayan lebih jauh dari lokasi kerja, tapi waktu itu aku sudah capek mencari tempat baru yang ideal. Aku terima juga tempat ini, kamar lebih kecil, tapi aku cuma mikir yah sudahlah aku males nyari lagi, dan kebetulan aku nyambi kuliah lagi, yang sepulang kuliah selalu malem sekali, malah kalau masa ujian bisa sampai tengah malam, dari Depok cukup satu kali naik kereta, menghemat waktu.
Inilah masa-masa aku paling lama tinggal di satu tempat kos, selain tempatnya termasuk sepi, aku memang sudah gak pingin pindah-pindah lagi..betul-betul capek. Pemilik baik sekali, tanpa aku pernah berburuk sangka dengannya. Mereka punya kunci duplikat kamar, dan bebas keluar masuk, walau alasannya untuk meletakkan pakaian-pakaian yang selesai dicuci-setrika. Bertahun-tahun aku tinggal di sana, tidak pernah ada dalam fikiranku yang jelek tentang si ibu kos, malah kita sering ngobrol berdua, cerita segala hal. Sampai akhirnya aku menyadari ada yang hal-hal aneh yang selama ini tidak pernah aku rasakan (mungkin akrena aku menganggap si ibu kos tulus kebaikannya).
Tetangga sebelah kamarku pindah, dia lebih lama tinggal di sana daripada aku, waktu aku tanyakan langsung kenapa dia pindah dia cuma senyum, biasalah cowok kadang suka gak mau terus terang. Lama kelamaan aku menyadari dan mengetahui keburukan si ibu kos, yang ternyata selalu "menguping" pembicaraan di telfon (dari pesawat telfon satunya), memungut kertas-kertas/sampah yang kita buang, kalau-kalau ada surat atau kertas-kertas yang bisa dibaca, malah sering mengarang cerita kalau kebetulan aku gak di tempat dan ada yang telfon atau mencari aku. Ini tentu saja aku tahu dari teman-teman yang pernah telfon/datang mencariku.
Dengan rasa kesal dan marah aku pindah, dia tanya aku pindah ke mana, tapi bukan urusannya. Semua kebaikannya dulu sudah lenyap karena tingkah lakunya yang selalu memeriksa isi kamar, foto-fotoku, surat atau kertas-kertas yang ada di kamarku.
(3bp-bs)
Tempat kos baru lagi, aku fikir inilah yang terkahir. Senang juga walupun si ibu kos sedikit aneh, dan akhirnya bikin gak betah. Dia sering sekali dateng ke kamar kos, minta kita bayar uang kos bulan berikut walaupun belum waktunya, malah ada tetangga sebelah kamar yang katanya dia diminta nyicil bayarnya uang kos bulan berikut karena si ibu kos perlu uang buat beli obat... Gak masuk akal, tapi karena tetanggaku itu baik dia mau juga kasih si ibu kos bayaran lebih cepat. Kalau aku, paling aku jawab kan belum wkatunya, lagian aku belum gajian, si ibu kos cemberut dan pergi. Aku pindah juga dari situ, tapi bukan karena alasan tsb. Waktu itu rumah kos akan direnovasi, jadi aku dipindahkan sementara di kamar yang selama ini jadi kamar cadangan. Penawaran itu aku tolak, keadaan kamar tidak memadai karena aku tinggal di situ kan gak gratis, tapi si ibu ngotot katanya cuma beberapa minggu. Aku tetap gak mau, malah si ibu kos ngadu ke keluarganya dan ke anak-anak kos lain bahwa aku sombong sekali.. Karena itu kesalahan mereka (mau renovasi mendadak) aku minta sisa uang kos yang baru saja aku bayar, dan aku pindah, tidak lama semua penghuni kos juga keluar.
Aku dapet tempat yang jauh lebih nyaman di tempat baru, pemilik baik dan ada pembantu khusus yang bisa bantu-bantu kalau kita perlu, kehidupanku selama di tempat tsb betul-betul nyaman. Tapi suatu saat aku memang harus keluar dari sana, waktu akhirnya aku memutuskan untuk pindah dan mempunyai keluarga dan rumah sendiri.
Suka jadi anak kos lebih sedikit dari dukanya, tapi memang hal tersebut yang menjadikan 'ku lebih dewasa, ....hidup memang butuh ketabahan.
Aku dapet tempat yang jauh lebih nyaman di tempat baru, pemilik baik dan ada pembantu khusus yang bisa bantu-bantu kalau kita perlu, kehidupanku selama di tempat tsb betul-betul nyaman. Tapi suatu saat aku memang harus keluar dari sana, waktu akhirnya aku memutuskan untuk pindah dan mempunyai keluarga dan rumah sendiri.
Suka jadi anak kos lebih sedikit dari dukanya, tapi memang hal tersebut yang menjadikan 'ku lebih dewasa, ....hidup memang butuh ketabahan.
Kompasdotkom - Feb.24.2006
HennieTriana
buat masa-masa di BDO-JKT
buat masa-masa di BDO-JKT

No comments:
Post a Comment